Sabtu, 22 Desember 2018

PINDAH KERJA

Seorang teman yang sudah bekerja selama puluhan tahun di perusahaan yang sama, pernah curhat ke saya.Dia sangat tidak suka dengan atasan atau karyawan baru, yang masuk dengan fasilitas yang jauh lebih baik. Sementara fasilitas karyawan lama masih segitu2 saja. Saya pikir lumrah di dalam dunia pekerjaan saat ini. 

Sebaliknya dengan teman saya yang telah berpindah2 kerja. Cara pandangnya terhadap karyawan baru berbeda jauh. Saat saya bertanya kenapa dia lebih santai, dia menjawab : "Saya pindah2 kerja. Jadi saya tau rasanya gimana jadi orang baru di tempat kerja saya yang baru". 

Setelah saya berpindah2 kerja, saya jadi lebih bisa memaklumi sikap karyawan lama dan perasaan karyawan baru.

That's life.
Jika anda mau bersikap bijaksana, bayangkanlah anda di posisi lawan bicara anda.
Kalau belum bisa, jangan ngaku bijaksana.
---NAVIGASI BLOG : -- KLIK PADA JUDUL POSTINGAN -- KLIK HEADER UNTUK KEMBALI KE HALAMAN DEPAN -- MENU PADA BAGIAN ATAS -- KATEGORI POSTINGAN PADA KANAN ATAS -- TOMBOL CEPAT KEATAS PADA KANAN BAWAH --

RANJANG BERTINGKAT


Saya lahir dari satu keluarga sederhana di kota kecil, hampir 45 tahun yang lalu. Saya anak ke 6 dari 7 bersaudara. Dengan anggota keluarga sebanyak 9 orang (ditambah orang tua), kami tinggal di rumah dengan 3 kamar tidur. Satu kamar untuk orang tua, satu kamar untuk anak laki2 dan satu kamar untuk anak perempuan.

Rumah kami tidak bertingkat, tapi ranjang kami yang bertingkat. Dengan personel sebanyak itu, bisa dibayangkan ramainya barang2 dan kekacauan yang terjadi saat kami bangun pagi dan bersiap2 untuk ke sekolah. Sejak itu pula saya berpikir, kalau besar dan punya uang, saya akan punya rumah besar dan bertingkat. Supaya kalau saya punya anak, kondisinya tidak seribet ini. 

Sejalan dengan waktu, banyak hal yang saya jumpa dan alami yang merubah pikiran saya terkait rumah bertingkat. Ada keluarga yang punya rumah besar dan bertingkat, tapi hanya dihuni pembantunya. Karena anak pemilik sudah punya rumah sendiri dan pemiliknya sering di luar kota.
Ada juga rumah besar, yang hanya ditempati suami istri. Anak2 sudah kuliah di luar kota, dan pulang satu atau 2 kali saja dalam setahun. 

Di sisi lain, ada juga keluarga yang punya rumah tidak besar, tapi masih bisa hidup bahagia. Apalagi saat ini sudah banyak keluarga dengan satu atau 2 anak saja. Kenapa harus punya rumah bertingkat dengan banyak kamar kalau anak cuma 2 ? Siapa yang akan menempati rumah kalau anak sudah kuliah di kota lain??

Bagi saya, ranjang bertingkat lebih baik dibanding rumah besar yang bertingkat. Ranjang bertingkat, membuat anggota keluarga bisa berinteraksi. Ngobrol, berantem dan bisa saling mengawasi. Kamar banyak membuat interaksi berkurang. Apalagi saat sekarang dimana anak2 lebih memilih mengurung diri di kamar dengan gadget dan WiFi. 

Saya juga membayangkan saat saya dan istri sudah tua. Di saat badan sudah menua, dan berjalan mulai susah, apakah saya masih mau berpikir untuk naik tangga?  Ke toilet aja susah, apalagi naik ke lantai 2 untuk sekedar mengambil sesuatu. 

Selain pemanfaatan ruangan, alasan biaya pembangunan juga jadi pertimbangan saya 😄. Nggak ada duit, jujur aja. Tapi kemarin saya dapat masukan dari seorang teman. "Pak, kalau ada uang lebih, ajak keluarga travelling. Tidak harus ke luar negeri. Sesuai budget lah".

Dalam pikiran saya, benar juga. Siapkan dana untuk kebutuhan, sisanya nambah wawasan.
Kalau ada uang lebih, ngapain nambah ruangan atau lantai rumah. Mendingan untuk jalan2. Live life to the fullest.

Tapi ini pandangan saya. Kalau teman2 punya budget dan pingin atau sudah punya rumah besar dan bertingkat, tidak ada yang salah. Teman2 bisa berpendapat beda. Namanya juga sharing.
Ranjang bertingkat? Atau Rumah bertingkat?
---NAVIGASI BLOG : -- KLIK PADA JUDUL POSTINGAN -- KLIK HEADER UNTUK KEMBALI KE HALAMAN DEPAN -- MENU PADA BAGIAN ATAS -- KATEGORI POSTINGAN PADA KANAN ATAS -- TOMBOL CEPAT KEATAS PADA KANAN BAWAH --

Selasa, 18 Desember 2018

ME TIME

Saat saya duduk sendiri sambil menikmati bubur kacang ijo, tiga meja di kiri saya juga diisi satu orang di tiap meja. 

Ada yg melamun, dan ada yg bermain gadget. Tiap orang punya masalah masing2. Dan tiap orang butuh waktu sendiri untuk memikirkan mau kemana jalan hidupnya. 

Seperti lirik lagu Guns n Roses :
Sometimes i need some time, on my own.
Everybody need some time, on their own
---NAVIGASI BLOG : -- KLIK PADA JUDUL POSTINGAN -- KLIK HEADER UNTUK KEMBALI KE HALAMAN DEPAN -- MENU PADA BAGIAN ATAS -- KATEGORI POSTINGAN PADA KANAN ATAS -- TOMBOL CEPAT KEATAS PADA KANAN BAWAH --

Senin, 17 Desember 2018

FREDDY MERCURY

Jelang pilpres, banyak yg larut dalam suasana kampanye. Dan yang pasti, ada saling hujat dan membuka kebobrokan lawan lain. 

Tadi saat mengemudi, saya mendengar lagu We Are The Champion yang dinyanyikan Queen. 

Dari kecil, saya tidak pernah memikirkan kalau sang vokalis bakal punya kehidupan pribadi yang melenceng dari kehidupan orang normal.

Saat saya tau pun, saya tetap tidak peduli. Karena saya lebih fokus dalam menikmati lagu2 yang dinyanyikan. 

Kelebihannya menutupi kekurangannya.
Karena saya memutuskan demikian. 

Kekurangan orang lain akan mudah dicari, jika kita berniat demikian. Tapi kelebihan, pasti akan lebih sulit apabila kita tidak bisa berjiwa besar.

Mari bersaing dengan menunjukkan kelebihan sendiri, bukan dengan menunjukkan kekurangan lawan. 

Kita yang memutuskan.
---NAVIGASI BLOG : -- KLIK PADA JUDUL POSTINGAN -- KLIK HEADER UNTUK KEMBALI KE HALAMAN DEPAN -- MENU PADA BAGIAN ATAS -- KATEGORI POSTINGAN PADA KANAN ATAS -- TOMBOL CEPAT KEATAS PADA KANAN BAWAH --

Jumat, 14 Desember 2018

U IA BO


Sambil makan siang, sambil mendengar orang2 di meja sebelah yang sedang membahas investasi bitcoin.
 
Yang satu sebagai pengajar, sementara yg satu lagi sebagai murid.
Cerita yang disampaikan manis semuanya. Mulai dari cara untuk jadi peserta, sampai keuntungan yang didapat.

Yang terlintas di pikiran saya, apakah pengajar akan tetap ada saat nilai investasi menurun alias merugi? Apakah pengajar komit untuk menjelaskan kepada klien apabila investasi klien merugi?

Pengalaman saya selama ini, kondisi negatif yang mungkin terjadi, tidak disampaikan di awal saat penawaran dilakukan. 

Saya pernah mendengar salah seorang marketing senior yang berkata ke bawahannya : "Kalau dijelaskan sisi negatifnya, siapa yang mau beli?".

Jika demikian, anda menjebak klien anda masuk ke dalam jebakan yang anda sendiri sudah tau.
Apakah marketing demikian? Mengorbankan klien demi keuntungan pribadi?

No...no.....not for me.
Yg pendapatnya beda, silakan. Ini sharing, bukan debat capres.
U ia bo ?
---NAVIGASI BLOG : -- KLIK PADA JUDUL POSTINGAN -- KLIK HEADER UNTUK KEMBALI KE HALAMAN DEPAN -- MENU PADA BAGIAN ATAS -- KATEGORI POSTINGAN PADA KANAN ATAS -- TOMBOL CEPAT KEATAS PADA KANAN BAWAH --
BANNER DISINI
LIKE FANPAGE KAMI OMSHARING GROUP